Tugas Mata
kuliah Teologi kontemporer kali ini membahas buku "Masa Depan
Tuhan" karangan Karen Amstrong. Jadi pesannya harus hati-hati dalam membaca
buku karena banyak buku yang bertentangan dengan iman Kristen. Semua harus
sesuai Firman Tuhan yaitu Alkitab sebagai sumber kebenaran.
BAB
1
TUHAN YANG TIDAK
DIKETAHUI (DARI 30.000 SM HINGGA 1500 M)
1.1
Homo religious, Tuhan dan Nalar
Menurut Karen Amstrong, manusia adalah makhluk pencari makna (hal 55)
sehingga manusia menciptakan agama dan karya seni untuk membantu manusia
menemukan nilai dalam kehidupan. Manusia sangat mudah putus asa sehingga agama
dan seni merupakan upaya untuk membangun arti di hadapan kepedihan dan
ketidakadilan hidup yang tidak ada habisnya. Melalui upacara ritual dalam
gua-gua Paleolitik dan mitos –mitos yang
ada mereka mendapat makna kehidupannya. Mitos itu mungkin tidak benar secara
empiris, mungkin melanggar logika, tetapi sebuah mitos yang bagus akan
mengatakan kepada kita sesuatu yang berharga tentang kesulitan manusia.
Sebagaimana setiap karya seni, sebuah mitos tidak akan ada artinya kecuali jika
manusia itu membuka diri kepadanya dengan sepenuh hati dan membiarkannya
mengubah pikirannya.
Manusia disebut Homo
religiousus (mahluk Agama). Salah satu fungsi ritual yaitu untuk menimbulkan
kegelisahan dalam cara tertentu sehingga masyarakat terpaksa menghadapi dan
mengendalikannya. Kehidupan agama
berakar dalam pengakuan atas kenyataan tragis bahwa kehidupan bergantung pada
penghancuran mahluk-mahluk lainnya. Manusia mempunyai keinginan untuk menumbuhkan
rasa tentang transenden dan ini merupakan karakter penentu manusia. Masyarakat
kuno mencoba mengekspresikan perasaan mereka tentang yang dikenal sebagai
“Wujud” (Being), sebuah energy mendasar yang mendukung dan menggerakkan segala
sesuatu yang hadir. Wujud tersebut bersifat transenden. Kita tak dapat melihat,
menyentuh atau mendengarnya. Mustahil untuk mendefinisikannya atau
menjelaskannya karena Wujud tersebut mencakup semua dan pikiran kita hanya
mampu berurusan dengan wujud-wujud particular yang hanya dapat berpartisipasi
dalamnya secara terbatas. Karen Armstrong menyatakan bahwa filsafat tidak
menentang agama, melainkan mengembangkan tradisi iman. Filsafat adalah kerinduan kepada
kebijaksanaan yang transenden, karena ada penghormatan yang sehat terhadap
logos.
1.2
Iman, Hening dan Iman Nalar
Karen Armstrong
menyebutkan Bait Suci di Yerusalem dengan sebutan “Kuil”. Kaum Yahudi sangat
mengimani bahwa kuil di Yerusalem mempunyai arti spiritual yang sangat berharga
sehingga mereka rela mati demi mempertahankan kuil mereka. Menurut Karen kuil
itu tidak perlu ditangisi karena ritual kuil sudah digantikan dengan kasih
sayang dan kasih sayang. Kasih sayang juga merupakan kunci untuk menafsir kitab
suci. Karen mengutip firman Tuhan “ Aku menghendaki cinta dan bukan
persembahan”
Karen mengatakan tidak
ada apapun di dalam kitab suci yang menyarankan bahwa seorang penebus akan disalibkan, lalu bangkit dari antara
orang mati. Menurut Karen ide itu benar-benar berbau skandal. Iman orang
Kristen bisa membingungkan orang Kristen sendiri karena bahasa manusia tidak
memadai untuk mengungkapkan kenyataan yang disebut “Allah” sehingga diam atau
keheningan adalah satu-satunya medium yang sangat mungkin untuk memahami yang
Ilahi.
Karen menganggap Yesus
adalah Tuhan yang menjelma menjadi manusia dan konsep trinitas adalah suatu
Mitos. Karen mengatakan sangat sulit untuk berpikir tentang Allah bahkan untuk
membangkitkan antusiasme saja sangat sulit karena ketidaksempurnaan manusia.
Oleh karena itu manusia harus mengusir kemalasan mental dengan menggunakan
intelek, nalar, imajinasi dan emosinya untuk membangunkan dan menyemangati
pikirannya sendiri, kekuatan rasional yang ditemukan diberikan Allah untuk
membangkitkan dan menyalakan semangat.
Walau dianggap tidak diketahui tetapi manusia
mempunyai intuisi akan adanya Tuhan. Itu
sebabnya manusia disebut Homo Religiosus, manusia beragama. Melalui
intuisi itu manusia dalam iman dan nalarnya mengenal Tuhan.
Tanggapan
Kelompok:
1. Ritual agama seharusnya bukan
menimbulkan ketakutan akan penghukuman, melainkan harus dipandang sebagai cara
bagaimana manusia dapat mengenal dan berhubungan dengan Allah. Hukuman sebagai konsekuensi pengabaian ritual
harusnya dipandang sebagai sebagai suatu disiplin atas pengakuan dan
loyalitasnya kepada pribadi yang transenden. Contoh WNI harus menaati peraturan
yang disepakati dengan pemerintah Indonesia
2. “keinginan
untuk menumbuhkan rasa tentang yang transenden mungkin merupakan karakter
penentu manusia.” Jelaslah ia
mengakui bahwa cara untuk mengenal yang transenden melalui agama bukanlah sesuatu
yang sifatnya dipaksakan, melainkan suatu hasrat hakiki dari manusia untuk
mengenal yang Maha Tinggi melalui agama.
Walaupun pada kenyataannya ada imam** yang memanfaatkan hal ini demi
kepentingan mereka sendiri.
3.Manusia tidak dapat memahami Tuhan secara
utuh/lengkap. Oleh karenanya Allah
menyatakan diri-Nya secara progresif melalui bahasa manusia, di segala zaman.
4. Allah dan keberadaan-Nya bukanlah
mitos atau sekedar pembicaraan kosong, melainkan suatu kenyataan yang tak
terjangkau oleh hikmat manusia yang terbatas.
5. Pengetahuan akan Allah tidak bisa
bersifat subjektif (manusia memahami Allah secara nalar), namun juga harus
didasarkan pada realita-realita objektif bahwa Allah melampaui pikiran manusia
yang terbatas yang dikenal oleh para filsuf sebagai dunia/hikmat yang tidak
diketahui/tidak tergapai.
6. Bagi bangsa Yahudi Bait Allah
melambangkan Kehadiran Allah di tengah-tengah bangsa mereka. Pemakaian kata
kuil berarti mengganggap Bait Allah sama dengan kuil tempat para dewa-dewa
seperti agama hindu atau budha.
7. Karya penebusan dan kematian serta
kebangkitan Tuhan Yesus sudah dinubuatkan sejak awal penciptaan Kejadian 3:21
serta banyak makna teologi kitab Perjanjian Lama dari kisah Ester, Boas yang
menebus Rut juga di Kitab Perjanjian Baru cth Kis 2:22-23
8. Keheningan yang dimaksudkan Karen itu
adalah meditasi. Untuk mengenal Tuhan kita tidak perlu bermeditasi namun kita
hanya dapat mengenal Allah jika Allah menyatakan diriNya bagi kita. Roh kudus
membimbing kita pada pengenalan akan Allah sehingga kita dapat mengasihi Dia
dengan segenap hati, segenap pikiran, kekuatan dan akal budi kita
BAB 2
TUHAN MODERN (DARI 1500
M HINGGA SEKARANG)
2.1
Sains, agama dan agama ilmiah
Tuhan rupanya menjadi problematik dengan munculnya beberapa
pemikiran modern tentang sains dan agama. Armstrong mengatakan Agama sejati adalah agama
humanistik, agama kemanusiaan, agama yang mengembangkan dan menyuburkan
nilai-nilai kemanusiaan. Bukan sebaliknya agama yang membinasakan manusia dan
kemanusiaan. Agama yang diperlukan dewasa ini adalah agama yang mewartakan dan
menawarkan pembebasan, menawarkan energi pembebasan bagi kemanusiaan. Untuk itu
perlu ada sikap kritis dalam menghadapi dan menghayati agama. Tanpa adanya
sikap kritis itu ada banyak segi dari hidup agama itu yang justru dapat
membelenggu manusia dan kemanusiaan.
Untuk melawan
kesesatan ateisme dari Spinoza para
teolog berpaling pada rasionalisme ilmiah baru.
Agama ilmiah meyakini bahwa
kebenaran tidak boleh samar sehingga Tuhan yang Benar harus sama rasional dan
masuk akal, seperti fakta kehidupan lain (hal 344). Tuhan sebagai misteri
adalah tindakan yang sangat berbahaya karena hal itu “ mengiring pada penolakan
terhadap keberadaannya.
2.2. Konsep Pencerahan dan Ateisme
Zaman Pencerahan,
merupakan suatu zaman ketika pengetahuan ilmiah yang berkembang memunculkan kritik
yang keras terhadap kepercayaan iman Kristen. Mereka meragukan eksistensi Allah,
yang dipengaruhi oleh kemajuan pesat ilmu-ilmu alam dan teknologi. Di zaman ini
para pemikir sangat yakin bahwa umat manusia dapat mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan
di dunia ini sehingga, nalar adalah satu-satunya
jalan menuju kebenaran. Mereka menganggap
bahwa agama, masyarakat, sejarah dan cara kerja pikiran manusia semua dapat dijelaskan
dengan proses-proses alam biasa yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan.
David Hume (1711-1776)
adalah seorang skeptisyang meneruskan pada konklusi logis mereka dengan menyangkali
realita spiritual.Hume menyerang mujizat-mujizat di Alkitab, menyangkali bahwa kemungkinan
untuk dapat mengetahui kebenaran yang objektif.Era pencerahan menghasilkan agnostikisme,
skeptisme, demikian juga suatu penekanan pada rasionalisme dan metode ilmiah sebagai
dasar untuk membuktikan semua kebenaran.Semua faktor itu memberikan kontribusi dalam
penolakan pada Alkitab dan yang supranatural. Dasar ini yang digunakan oleh para
pengkritik Alkitab, bahwa tidak mungkin mengatakan sesuatu tentang Allah secara
langsung (terus-terang) kepada manusia modern, karena manusia modern tidak mampu
menerimanya dengan cara demikian sebagai kebenaran dan kepastian
Karl Marx menyatakan Ketidakadilan
kapitalisme telah menghasilkanTuhan yang sekedar ilusi yang menghibur:” Tekanan
agama pada ssat yang sama merupakan ekspresi penderitaan nyat dan sekaligus protes
terhadap penderitaan nyata. Agama adalah keluhan makhluk yang tertindas, hati dunia
yang tak berperasaan, sekaligus roh dari sebuahsituasi yang tak berjiwa. Agama
adalah candu masyarakat.
2.3 Konsep Ketidaktauan dan Kematian Tuhan
Pada kongres
matematikawan internasional kedua di Paris pada tahun 1900, matematikawan
Jerman David Hilbert (1862-1943) dengan yakin memperkirakan abad kemajuan
ilmiah yang tak tertandingi. Tampaknya, tidak ada batas bagi kemajuan barat
modern. Dalam semua bidang, seniman, ilmuan, dan filsuf seperti sedang
mengantisipasi sebuah dunia baru yang baru.
Beberapa orang Kristen
percaya bahwa fisika baru, ranah pada iman, meskipun Einstein selalu menekankan
bahwa relativitas adalah teori ilmiah dan tidak berkaitan dengan agama. Setelah
Einstein, tampak semakin jelas bahwa sains bukan hanya tidak mampu memberi kita
bukti defenitif, tetapi semuanya pun secara inheren bersifat terbatas dan
sementara. Ilmuan mulai terdengar seperti para teolog apofatik, bukan hanya
Tuhan yang berada di Luar jangkauan pikiran manusia, melainkan alam juga sudah
semakin sukar dipahami. Einstein secara tegas tidak mengakui Tuhan modern yang
dipersonalisasi. Tetapi, banyak diantara para teolog yang karyanya telah kita
singgung-orgenes, tiga sekawan dari kapadokia, Denys, dan Aquinas-akan mengerti
persis apa yang dimaksud.
Perang Dunia Kedua (1939-1945)
mengungkapkan efesiensi mengerikan kerasan modern. Ledakan bom atom di
Hiroshima dan Nagasaki menelanjangi penghancuran-diri Nehilistik dijantung
prestasi cemerlang Homo Technologicus. Kemampuan kita untuk membahayakan dan
mencincang satu sama lain melaju dengan takkalah cepat dibandingkan dengan
kemajuan ekonomi dan ilmiah kita yang luarbiasa. Pemusnahan orang-orang yang
telah menciptakan Tuhan di dalam alkitab adalah pemberlakuan simbolis kematian
Tuhan yang telah diproklamasikan oleh Nietzche. Dalam teologi Kristen, neraka
secara tradisional didefinisikan sebagai tiadanya Tuhan, dan kamp Nazi secara
mengerikan mereproduksi simbolisme tradisionala neraka: pengelupasan kulit,
penyiksaan, pencambukan, bentakan dan ejekan, tubuh-tubuh yang cacat, nyala
apai dan udara yang bau semuanya
membangkitkan gambaran neraka yang dilukiskan oleh para seniman,
penyair, dan dermawan Eropa.
Gagasan
tentang Tuhan hanyalah symbol Transendensi yang tak terlukisklan dan telah
ditafsirkan dalam banyak cara yang berbeda selama berabad-abad. Tuhan
modern-yang dipahami sebagai pencipta maha kuat, sebab pertama, kepribadian
supernatural yang dipahami secara realistis dan dapat dibuktikan secara
rasional-adalah sebuah fenomena baru.
Rudolf Bultmann (1884-1976) bersikeras bahwa Tuhan
harus de-objektifikasi dan bahwa kitab suci tidak menyampaikan informasi
faktual, tetapi hanya bisa dipahami jika orang Kristen melibatkan diri secara
eksistensial dengan iman mereka. “percaya pada salib Kristus tidak berarti
menyibukkan diri kita…dengan peristiwa objektif,“ dia menjelaskan, “ tapi lebih
untuk membuat salib kita sendiri.“
Sejak
revolusi ilmiah 1920-an, telah berkembang keyakinan bahwa ketidaktahuan adalah
bagian yang tidak dapat dihilangkan dari pengalaman kita. Tampaknya,
pengetahuan ilmiah yang datang pada dunia modern awal dengan kekuatan bak wahyu
baru ternyata pada dasarnya tidak berbeda dengan pemahaman yang kita dapatkan
dari humaniora. Pada pertengahan abad ke-20, banyak yang merasa mustahil untuk
membayangkan bahwa menyingkirkan Tuhan akan mengantarkan pada sebuah dunia baru
yang berani; tidak ada optimis pencerahan yang damai dalam rasionalitas
eksisistensi manusia.
Selama 1960-an, Eropa
mengalami kehilangan iman yang dramatis. Setelah kebangkitan ketaatan beragama
selama tahun-tahun sulit segera pasca-perang dunia ke-2 misalnya, jumlah orang
Inggris yang tidak mau lagi kegereja mencapai angka yang belum pernah terjadi
sebelumnya dan penurunannya berlanjut terus dengan mantap. Kemerosotan agama
hanyalah salah satu tanda perubahan budaya yang utama selama decade ini ketika
banyak diantra struktur kelembagaan modernitas ambruk; Sensor diperlonggar;
aborsi dan homoseksualitas dilegalisasi. Perceraian menjadi lebih mudah gerakan
perempuan mengampanyekan kesetaraan Gender; dan anak muda mencerca etos modern
orangtua mereka.
Ateisme
tidak lagi dianggapnya sebagai sebuah istilah pelecehan. Seperti telah
diramalkan Nietzche, gagasan tentang Tuhan mati begitu saja dan untuk pertama
kalinya rakyat biasa, yang bukan ilmuan atau filsuf perintis, dengan senang
hati menyebut diri mereka ateis. Iman telah menjadi musnah, tidak ada
perdamaian.
Gerakan
kematian Tuhan memiliki kelemahan: gerakan itu pada dasarnya gerakan kulit
putih, kelas menengah, makmur, dan kadang-kadang secara ofensif-teologi
Kristen. Seperti Hegel, Altizer melihat Tuhan orang Yahudi sebagai tuhan
terasing yang telah dihapuskan oleh kekristenan. Oleh karena itu, terlalu dini
untuk berbicara tentang kematian agama dan hal ini menjadi jelas pada akhir
1970-an. Ketika kepercayaan pada dekatnya kedatangan kota sekuler diruntuhkan
oleh kebangkitan keagamaan yang dramatis.
Fundamentalis
protestan terutama digerakkan oleh pertanyaan-pertanyaan teologis yang telah
ditantang oleh berbagai penemuan ilmiah baru. Fundamentalisme dalam
tradisi-tradisi lain dipicu oleh masalah yang sama sekali berbeda dan tidak
terlalu berurusan dengan “keyakinan” dengan cara seperti ini. Dalam segala
bentuknya, fundamentalisme adalah iman yang sangat produktif. Tetapi, penting
bagi para pengkritik agama untuk melihat fundamentalisme lama konteks sejarah.
Fundamentalisme Sunni berkembang di kamp-kamp konsentrasi tempat presiden Gamal
Abdel Nazzer (1918-1970) menahan ribuan anggota Ikhwanul Muslimin tanpa
pengadilan. Tidak ada pemikir muslim besar sebelumnya yang pernah menjadikan
“perang suci” prinsip utama iman; maududi sangat menyadari bahwa dia sedang
membuat klaim yang sangat kontro darurat politik sekarang.
Kritikus
islam percaya bahwa kultus kesyahidan yang berbahaya bersifat endemik dalam
agama itu sendiri. Terorisme tidak diragukan lagi mengancam keamanan global
kita, tetapi kita membutuhkan intelijen akurat yang mempertimbangkan seluruh
bukti. Pengutukan terhadap ”islam” secara membabi buta dan tanpa dasar tidak
akan membantu.
Namun,
ilmuan dan ateis lain waspada terhadap pendekatan ini. Ahli ilmu hewan Amerika
Stephen Jay Gould (1941-2002) mengikuti monot dalam diskusinya mengenai
implikasi evolusi. Memutuskan apakah Tuhan itu ada atau tidak karena sains
hanya bisa bekerja dengan penjelasan alam.
Tatkala
menyesatkan untuk menegaskan bahwa semua masalah dunia modern sepenuhnya karena
agama, justru karena pada saat berbahaya pada sejarah manusia ini kita
memerlukan kepala yang jernih dan kecerdasan yang akurat. Filsafat, teologi,
dan mitologi, selalu menanggapi sains jaman, dan sejak 1980-an telah berkembang
sebuah gerakan filsafat yang merangkul ketidakpastian kosmologi baru. Ini
adalah prospek yang menggiurkan jika ateisme adalah produk modernitas, sekarang
setelah kita memasuki fase “Postmodern” akankah ini juga, seperti Tuhan modern
menjadi sesuatu dari masa lalu.
Tanggapan:
Sekalipun para filsafat
ini berpendapat bahwa penelitian yang mereka lakukan adalah penelitian yang
sangat layak untuk dipercayai dan didukung oleh bukti-bukti yang “ilmiah” namun
ada banyak hal yang patut untuk dipertimbangkan kembali.
Di dalam merumuskan metode kritik mereka,
menggunakan patokan dari prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, yang berarti bahwa mereka menempatkan
Alkitab sebagai objek dari ilmu pengetahuan. Data-data dalam Alkitab menyangkut
waktu dan tempat, peristiwa dan orang diterima sejauh data-data itu sesuai dengan
hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang sudah diterima oleh teologi ilmiah. Di
dalam ilmu pengetahuan, bahwa sekali suatu hipotesis dikemukakan maka ia akan diulang-ulang
terus. Sebagaimana pada displin-displin lain, demikian juga studi Alkitab, apa
yang semula masih dugaan sementara karena cendrung diulang-ulang itu, menjadi fakta
bersifat dugaan dan mencerminkan kesepakatan dari pendapat para kritikus ini.
Pertimbangan lain yang
menempatkan Alkitab sebagai objek ilmu pengetahuan adalah keliru yaitu karena keduanya merupakan dua hal yang berbeda.
Alkitab berkenaan dengan teologi atau agama, dan ilmu tidak bisa menjangkau hal
itu secara utuh karena mereka berbeda satu sama lain. Kepercayaan merupakan titik
tolak dalam agama.Suatupernyataan harus dipercaya dulu untuk dapat diterima: Pernyataan
ini bisa saja selanjutnya dikaji dengan metode lain. Secara rasional bisa dikaji
umpamanya apakah pernyataan-pernyataan yang terkandung di dalamnya bersifat konsisten
atau tidak. Singkatnya agama dimulai
dengan rasa percaya, dan lewat pengkajian selanjutnya kepercayaan itu bisa
meningkat atau menurun. Ilmu dimulai dengan rasa tidak percaya, dan setelah melalui
proses pengkajian ilmiah, kita bis a diyakinkan atau tetap pada pendirian semula.
Ilmu Pengetahuan membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia.
Karena metode yang dipergunakan dalam menyusun sudah teruji kebenarannya, ilmu tidak
memasuki daerah diluar jangkauan empirisnya (daerah jangkauan pengalaman manusia).
2. Segala sesuatu terbatas oleh rasio
manusia dan Tuhan itu adalah yang tak terselami oleh pikiran manusia
3.
Pada kematian agama-agama adalah simbol mundurnya agama-agama tetapi Tuhan yang
dipercayai dalam alkitab adalah benar Tuhan yang hidup.
4.
Sekalipun bumi berlalu namun firman Tuhan tetap untuk selama-lamanya. Semua
janji Tuhan pasti digenapi
KESIMPULAN
Buku Masa Depan
Tuhan sanggahan terhadap Fundamentalis dan Ateisme karangan Karen sangat
berbahaya bagi iman orang Kristen karena buku ini menganggap Tuhan Yesus dan
konsep Trinitas Allah adalah sebuah mitos saja.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar