Kamis, 29 Juni 2017

Pembahasan Buku Masa Depan Tuhan Karangan Karen Amstrong

Tugas  Mata kuliah Teologi kontemporer kali ini membahas buku "Masa Depan Tuhan" karangan Karen Amstrong. Jadi pesannya harus hati-hati dalam membaca buku karena banyak buku yang bertentangan dengan iman Kristen. Semua harus sesuai Firman Tuhan yaitu Alkitab sebagai sumber kebenaran.
 
 

BAB 1
TUHAN YANG TIDAK DIKETAHUI (DARI 30.000 SM HINGGA 1500 M)

1.1  Homo religious, Tuhan dan Nalar
Menurut Karen Amstrong,  manusia adalah makhluk pencari makna (hal 55) sehingga manusia menciptakan agama dan karya seni untuk membantu manusia menemukan nilai dalam kehidupan. Manusia sangat mudah putus asa sehingga agama dan seni merupakan upaya untuk membangun arti di hadapan kepedihan dan ketidakadilan hidup yang tidak ada habisnya. Melalui upacara ritual dalam gua-gua Paleolitik  dan mitos –mitos yang ada mereka mendapat makna kehidupannya. Mitos itu mungkin tidak benar secara empiris, mungkin melanggar logika, tetapi sebuah mitos yang bagus akan mengatakan kepada kita sesuatu yang berharga tentang kesulitan manusia. Sebagaimana setiap karya seni, sebuah mitos tidak akan ada artinya kecuali jika manusia itu membuka diri kepadanya dengan sepenuh hati dan membiarkannya mengubah pikirannya.
Manusia disebut Homo religiousus (mahluk Agama). Salah satu fungsi ritual yaitu untuk menimbulkan kegelisahan dalam cara tertentu sehingga masyarakat terpaksa menghadapi dan mengendalikannya.  Kehidupan agama berakar dalam pengakuan atas kenyataan tragis bahwa kehidupan bergantung pada penghancuran mahluk-mahluk lainnya. Manusia mempunyai keinginan untuk menumbuhkan rasa tentang transenden dan ini merupakan karakter penentu manusia. Masyarakat kuno mencoba mengekspresikan perasaan mereka tentang yang dikenal sebagai “Wujud” (Being), sebuah energy mendasar yang mendukung dan menggerakkan segala sesuatu yang hadir. Wujud tersebut bersifat transenden. Kita tak dapat melihat, menyentuh atau mendengarnya. Mustahil untuk mendefinisikannya atau menjelaskannya karena Wujud tersebut mencakup semua dan pikiran kita hanya mampu berurusan dengan wujud-wujud particular yang hanya dapat berpartisipasi dalamnya secara terbatas. Karen Armstrong menyatakan bahwa filsafat tidak menentang agama, melainkan mengembangkan tradisi iman.  Filsafat adalah kerinduan kepada kebijaksanaan yang transenden, karena ada penghormatan yang sehat terhadap logos.

1.2 Iman, Hening dan Iman Nalar
Karen Armstrong menyebutkan Bait Suci di Yerusalem dengan sebutan “Kuil”. Kaum Yahudi sangat mengimani bahwa kuil di Yerusalem mempunyai arti spiritual yang sangat berharga sehingga mereka rela mati demi mempertahankan kuil mereka. Menurut Karen kuil itu tidak perlu ditangisi karena ritual kuil sudah digantikan dengan kasih sayang dan kasih sayang. Kasih sayang juga merupakan kunci untuk menafsir kitab suci. Karen mengutip firman Tuhan “ Aku menghendaki cinta dan bukan persembahan”
Karen mengatakan tidak ada apapun di dalam kitab suci yang menyarankan bahwa seorang penebus  akan disalibkan, lalu bangkit dari antara orang mati. Menurut Karen ide itu benar-benar berbau skandal. Iman orang Kristen bisa membingungkan orang Kristen sendiri karena bahasa manusia tidak memadai untuk mengungkapkan kenyataan yang disebut “Allah” sehingga diam atau keheningan adalah satu-satunya medium yang sangat mungkin untuk memahami yang Ilahi.
Karen menganggap Yesus adalah Tuhan yang menjelma menjadi manusia dan konsep trinitas adalah suatu Mitos. Karen mengatakan sangat sulit untuk berpikir tentang Allah bahkan untuk membangkitkan antusiasme saja sangat sulit karena ketidaksempurnaan manusia. Oleh karena itu manusia harus mengusir kemalasan mental dengan menggunakan intelek, nalar, imajinasi dan emosinya untuk membangunkan dan menyemangati pikirannya sendiri, kekuatan rasional yang ditemukan diberikan Allah untuk membangkitkan dan menyalakan semangat.
Walau dianggap tidak diketahui tetapi manusia mempunyai intuisi akan adanya Tuhan.  Itu sebabnya manusia disebut Homo Religiosus, manusia beragama. Melalui intuisi itu manusia dalam iman dan nalarnya mengenal Tuhan.


Tanggapan Kelompok:
1. Ritual agama seharusnya bukan menimbulkan ketakutan akan penghukuman, melainkan harus dipandang sebagai cara bagaimana manusia dapat mengenal dan berhubungan dengan Allah.  Hukuman sebagai konsekuensi pengabaian ritual harusnya dipandang sebagai sebagai suatu disiplin atas pengakuan dan loyalitasnya kepada pribadi yang transenden. Contoh WNI harus menaati peraturan yang disepakati dengan pemerintah Indonesia
2. “keinginan untuk menumbuhkan rasa tentang yang transenden mungkin merupakan karakter penentu manusia.  Jelaslah ia mengakui bahwa cara untuk mengenal yang transenden melalui agama bukanlah sesuatu yang sifatnya dipaksakan, melainkan suatu hasrat hakiki dari manusia untuk mengenal yang Maha Tinggi melalui agama.  Walaupun pada kenyataannya ada imam** yang memanfaatkan hal ini demi kepentingan mereka sendiri.
3.Manusia tidak dapat memahami Tuhan secara utuh/lengkap.  Oleh karenanya Allah menyatakan diri-Nya secara progresif melalui bahasa manusia, di segala zaman.
4. Allah dan keberadaan-Nya bukanlah mitos atau sekedar pembicaraan kosong, melainkan suatu kenyataan yang tak terjangkau oleh hikmat manusia yang terbatas.
5. Pengetahuan akan Allah tidak bisa bersifat subjektif (manusia memahami Allah secara nalar), namun juga harus didasarkan pada realita-realita objektif bahwa Allah melampaui pikiran manusia yang terbatas yang dikenal oleh para filsuf sebagai dunia/hikmat yang tidak diketahui/tidak tergapai.
6. Bagi bangsa Yahudi Bait Allah melambangkan Kehadiran Allah di tengah-tengah bangsa mereka. Pemakaian kata kuil berarti mengganggap Bait Allah sama dengan kuil tempat para dewa-dewa seperti agama hindu atau budha.
7. Karya penebusan dan kematian serta kebangkitan Tuhan Yesus sudah dinubuatkan sejak awal penciptaan Kejadian 3:21 serta banyak makna teologi kitab Perjanjian Lama dari kisah Ester, Boas yang menebus Rut juga di Kitab Perjanjian Baru cth Kis 2:22-23
8. Keheningan yang dimaksudkan Karen itu adalah meditasi. Untuk mengenal Tuhan kita tidak perlu bermeditasi namun kita hanya dapat mengenal Allah jika Allah menyatakan diriNya bagi kita. Roh kudus membimbing kita pada pengenalan akan Allah sehingga kita dapat mengasihi Dia dengan segenap hati, segenap pikiran, kekuatan dan akal budi kita

 


BAB 2
TUHAN MODERN (DARI 1500 M HINGGA SEKARANG)

2.1  Sains, agama dan agama ilmiah
Tuhan rupanya menjadi problematik dengan munculnya beberapa pemikiran modern tentang sains dan agama.  Armstrong mengatakan Agama sejati adalah agama humanistik, agama kemanusiaan, agama yang mengembangkan dan menyuburkan nilai-nilai kemanusiaan. Bukan sebaliknya agama yang membinasakan manusia dan kemanusiaan. Agama yang diperlukan dewasa ini adalah agama yang mewartakan dan menawarkan pembebasan, menawarkan energi pembebasan bagi kemanusiaan. Untuk itu perlu ada sikap kritis dalam menghadapi dan menghayati agama. Tanpa adanya sikap kritis itu ada banyak segi dari hidup agama itu yang justru dapat membelenggu manusia dan kemanusiaan.
 Untuk melawan kesesatan ateisme dari Spinoza  para teolog berpaling pada rasionalisme ilmiah baru.  Agama ilmiah  meyakini bahwa kebenaran tidak boleh samar sehingga Tuhan yang Benar harus sama rasional dan masuk akal, seperti fakta kehidupan lain (hal 344). Tuhan sebagai misteri adalah tindakan yang sangat berbahaya karena hal itu “ mengiring pada penolakan terhadap keberadaannya.

2.2. Konsep Pencerahan dan Ateisme
Zaman Pencerahan, merupakan suatu zaman ketika pengetahuan ilmiah yang berkembang memunculkan kritik yang keras terhadap kepercayaan iman Kristen. Mereka meragukan eksistensi Allah, yang dipengaruhi oleh kemajuan pesat ilmu-ilmu alam dan teknologi. Di zaman ini para pemikir sangat yakin bahwa umat manusia dapat mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan di dunia ini sehingga, nalar adalah satu-satunya jalan menuju kebenaran.  Mereka menganggap bahwa agama, masyarakat, sejarah dan cara kerja pikiran manusia semua dapat dijelaskan dengan proses-proses alam biasa yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan.
David Hume (1711-1776) adalah seorang skeptisyang meneruskan pada konklusi logis mereka dengan menyangkali realita spiritual.Hume menyerang mujizat-mujizat di Alkitab, menyangkali bahwa kemungkinan untuk dapat mengetahui kebenaran yang objektif.Era pencerahan menghasilkan agnostikisme, skeptisme, demikian juga suatu penekanan pada rasionalisme dan metode ilmiah sebagai dasar untuk membuktikan semua kebenaran.Semua faktor itu memberikan kontribusi dalam penolakan pada Alkitab dan yang supranatural. Dasar ini yang digunakan oleh para pengkritik Alkitab, bahwa tidak mungkin mengatakan sesuatu tentang Allah secara langsung (terus-terang) kepada manusia modern, karena manusia modern tidak mampu menerimanya dengan cara demikian sebagai kebenaran dan kepastian
Karl Marx menyatakan Ketidakadilan kapitalisme telah menghasilkanTuhan yang sekedar ilusi yang menghibur:” Tekanan agama pada ssat yang sama merupakan ekspresi penderitaan nyat dan sekaligus protes terhadap penderitaan nyata. Agama adalah keluhan makhluk yang tertindas, hati dunia yang tak berperasaan, sekaligus roh dari sebuahsituasi yang tak berjiwa. Agama adalah candu masyarakat.

2.3 Konsep Ketidaktauan dan Kematian Tuhan
Pada kongres matematikawan internasional kedua di Paris pada tahun 1900, matematikawan Jerman David Hilbert (1862-1943) dengan yakin memperkirakan abad kemajuan ilmiah yang tak tertandingi. Tampaknya, tidak ada batas bagi kemajuan barat modern. Dalam semua bidang, seniman, ilmuan, dan filsuf seperti sedang mengantisipasi sebuah dunia baru yang baru.
Beberapa orang Kristen percaya bahwa fisika baru, ranah pada iman, meskipun Einstein selalu menekankan bahwa relativitas adalah teori ilmiah dan tidak berkaitan dengan agama. Setelah Einstein, tampak semakin jelas bahwa sains bukan hanya tidak mampu memberi kita bukti defenitif, tetapi semuanya pun secara inheren bersifat terbatas dan sementara. Ilmuan mulai terdengar seperti para teolog apofatik, bukan hanya Tuhan yang berada di Luar jangkauan pikiran manusia, melainkan alam juga sudah semakin sukar dipahami. Einstein secara tegas tidak mengakui Tuhan modern yang dipersonalisasi. Tetapi, banyak diantara para teolog yang karyanya telah kita singgung-orgenes, tiga sekawan dari kapadokia, Denys, dan Aquinas-akan mengerti persis apa yang dimaksud.
Perang Dunia Kedua (1939-1945) mengungkapkan efesiensi mengerikan kerasan modern. Ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki menelanjangi penghancuran-diri Nehilistik dijantung prestasi cemerlang Homo Technologicus. Kemampuan kita untuk membahayakan dan mencincang satu sama lain melaju dengan takkalah cepat dibandingkan dengan kemajuan ekonomi dan ilmiah kita yang luarbiasa. Pemusnahan orang-orang yang telah menciptakan Tuhan di dalam alkitab adalah pemberlakuan simbolis kematian Tuhan yang telah diproklamasikan oleh Nietzche. Dalam teologi Kristen, neraka secara tradisional didefinisikan sebagai tiadanya Tuhan, dan kamp Nazi secara mengerikan mereproduksi simbolisme tradisionala neraka: pengelupasan kulit, penyiksaan, pencambukan, bentakan dan ejekan, tubuh-tubuh yang cacat, nyala apai dan udara yang bau semuanya  membangkitkan gambaran neraka yang dilukiskan oleh para seniman, penyair, dan dermawan Eropa.
            Gagasan tentang Tuhan hanyalah symbol Transendensi yang tak terlukisklan dan telah ditafsirkan dalam banyak cara yang berbeda selama berabad-abad. Tuhan modern-yang dipahami sebagai pencipta maha kuat, sebab pertama, kepribadian supernatural yang dipahami secara realistis dan dapat dibuktikan secara rasional-adalah sebuah fenomena baru.
            Rudolf  Bultmann (1884-1976) bersikeras bahwa Tuhan harus de-objektifikasi dan bahwa kitab suci tidak menyampaikan informasi faktual, tetapi hanya bisa dipahami jika orang Kristen melibatkan diri secara eksistensial dengan iman mereka. “percaya pada salib Kristus tidak berarti menyibukkan diri kita…dengan peristiwa objektif,“ dia menjelaskan, “ tapi lebih untuk membuat salib kita sendiri.“
            Sejak revolusi ilmiah 1920-an, telah berkembang keyakinan bahwa ketidaktahuan adalah bagian yang tidak dapat dihilangkan dari pengalaman kita. Tampaknya, pengetahuan ilmiah yang datang pada dunia modern awal dengan kekuatan bak wahyu baru ternyata pada dasarnya tidak berbeda dengan pemahaman yang kita dapatkan dari humaniora. Pada pertengahan abad ke-20, banyak yang merasa mustahil untuk membayangkan bahwa menyingkirkan Tuhan akan mengantarkan pada sebuah dunia baru yang berani; tidak ada optimis pencerahan yang damai dalam rasionalitas eksisistensi manusia.
Selama 1960-an, Eropa mengalami kehilangan iman yang dramatis. Setelah kebangkitan ketaatan beragama selama tahun-tahun sulit segera pasca-perang dunia ke-2 misalnya, jumlah orang Inggris yang tidak mau lagi kegereja mencapai angka yang belum pernah terjadi sebelumnya dan penurunannya berlanjut terus dengan mantap. Kemerosotan agama hanyalah salah satu tanda perubahan budaya yang utama selama decade ini ketika banyak diantra struktur kelembagaan modernitas ambruk; Sensor diperlonggar; aborsi dan homoseksualitas dilegalisasi. Perceraian menjadi lebih mudah gerakan perempuan mengampanyekan kesetaraan Gender; dan anak muda mencerca etos modern orangtua mereka.
            Ateisme tidak lagi dianggapnya sebagai sebuah istilah pelecehan. Seperti telah diramalkan Nietzche, gagasan tentang Tuhan mati begitu saja dan untuk pertama kalinya rakyat biasa, yang bukan ilmuan atau filsuf perintis, dengan senang hati menyebut diri mereka ateis. Iman telah menjadi musnah, tidak ada perdamaian.
            Gerakan kematian Tuhan memiliki kelemahan: gerakan itu pada dasarnya gerakan kulit putih, kelas menengah, makmur, dan kadang-kadang secara ofensif-teologi Kristen. Seperti Hegel, Altizer melihat Tuhan orang Yahudi sebagai tuhan terasing yang telah dihapuskan oleh kekristenan. Oleh karena itu, terlalu dini untuk berbicara tentang kematian agama dan hal ini menjadi jelas pada akhir 1970-an. Ketika kepercayaan pada dekatnya kedatangan kota sekuler diruntuhkan oleh kebangkitan keagamaan yang dramatis.
            Fundamentalis protestan terutama digerakkan oleh pertanyaan-pertanyaan teologis yang telah ditantang oleh berbagai penemuan ilmiah baru. Fundamentalisme dalam tradisi-tradisi lain dipicu oleh masalah yang sama sekali berbeda dan tidak terlalu berurusan dengan “keyakinan” dengan cara seperti ini. Dalam segala bentuknya, fundamentalisme adalah iman yang sangat produktif. Tetapi, penting bagi para pengkritik agama untuk melihat fundamentalisme lama konteks sejarah. Fundamentalisme Sunni berkembang di kamp-kamp konsentrasi tempat presiden Gamal Abdel Nazzer (1918-1970) menahan ribuan anggota Ikhwanul Muslimin tanpa pengadilan. Tidak ada pemikir muslim besar sebelumnya yang pernah menjadikan “perang suci” prinsip utama iman; maududi sangat menyadari bahwa dia sedang membuat klaim yang sangat kontro darurat politik sekarang.
            Kritikus islam percaya bahwa kultus kesyahidan yang berbahaya bersifat endemik dalam agama itu sendiri. Terorisme tidak diragukan lagi mengancam keamanan global kita, tetapi kita membutuhkan intelijen akurat yang mempertimbangkan seluruh bukti. Pengutukan terhadap ”islam” secara membabi buta dan tanpa dasar tidak akan membantu.
            Namun, ilmuan dan ateis lain waspada terhadap pendekatan ini. Ahli ilmu hewan Amerika Stephen Jay Gould (1941-2002) mengikuti monot dalam diskusinya mengenai implikasi evolusi. Memutuskan apakah Tuhan itu ada atau tidak karena sains hanya bisa bekerja dengan penjelasan alam.
            Tatkala menyesatkan untuk menegaskan bahwa semua masalah dunia modern sepenuhnya karena agama, justru karena pada saat berbahaya pada sejarah manusia ini kita memerlukan kepala yang jernih dan kecerdasan yang akurat. Filsafat, teologi, dan mitologi, selalu menanggapi sains jaman, dan sejak 1980-an telah berkembang sebuah gerakan filsafat yang merangkul ketidakpastian kosmologi baru. Ini adalah prospek yang menggiurkan jika ateisme adalah produk modernitas, sekarang setelah kita memasuki fase “Postmodern” akankah ini juga, seperti Tuhan modern menjadi sesuatu dari masa lalu.


Tanggapan:
Sekalipun para filsafat ini berpendapat bahwa penelitian yang mereka lakukan adalah penelitian yang sangat layak untuk dipercayai dan didukung oleh bukti-bukti yang “ilmiah” namun ada banyak hal yang patut untuk dipertimbangkan kembali.
Di dalam merumuskan metode kritik mereka, menggunakan patokan dari prinsip-prinsip ilmu pengetahuan,  yang berarti bahwa mereka menempatkan Alkitab sebagai objek dari ilmu pengetahuan. Data-data dalam Alkitab menyangkut waktu dan tempat, peristiwa dan orang diterima sejauh data-data itu sesuai dengan hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang sudah diterima oleh teologi ilmiah. Di dalam ilmu pengetahuan, bahwa sekali suatu hipotesis dikemukakan maka ia akan diulang-ulang terus. Sebagaimana pada displin-displin lain, demikian juga studi Alkitab, apa yang semula masih dugaan sementara karena cendrung diulang-ulang itu, menjadi fakta bersifat dugaan dan mencerminkan kesepakatan dari pendapat para kritikus ini.
Pertimbangan lain yang menempatkan Alkitab sebagai objek ilmu pengetahuan adalah keliru yaitu karena keduanya merupakan dua hal yang berbeda. Alkitab berkenaan dengan teologi atau agama, dan ilmu tidak bisa menjangkau hal itu secara utuh karena mereka berbeda satu sama lain. Kepercayaan merupakan titik tolak dalam agama.Suatupernyataan harus dipercaya dulu untuk dapat diterima: Pernyataan ini bisa saja selanjutnya dikaji dengan metode lain. Secara rasional bisa dikaji umpamanya apakah pernyataan-pernyataan yang terkandung di dalamnya bersifat konsisten atau tidak. Singkatnya  agama dimulai dengan rasa percaya, dan lewat pengkajian selanjutnya kepercayaan itu bisa meningkat atau menurun. Ilmu dimulai dengan rasa tidak percaya, dan setelah melalui proses pengkajian ilmiah, kita bis a diyakinkan atau tetap pada pendirian semula. Ilmu Pengetahuan membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia. Karena metode yang dipergunakan dalam menyusun sudah teruji kebenarannya, ilmu tidak memasuki daerah diluar jangkauan empirisnya (daerah jangkauan pengalaman manusia).
2. Segala sesuatu terbatas oleh rasio manusia dan Tuhan itu adalah yang tak terselami oleh pikiran manusia
3. Pada kematian agama-agama adalah simbol mundurnya agama-agama tetapi Tuhan yang dipercayai dalam alkitab adalah benar Tuhan yang hidup.
4. Sekalipun bumi berlalu namun firman Tuhan tetap untuk selama-lamanya. Semua janji Tuhan pasti digenapi






KESIMPULAN

Buku Masa Depan Tuhan sanggahan terhadap Fundamentalis dan Ateisme karangan Karen sangat berbahaya bagi iman orang Kristen karena buku ini menganggap Tuhan Yesus dan konsep Trinitas Allah adalah sebuah mitos saja.


.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ANAK     Seorang anak bukan merupakan orang dewasa dalam bentuk kecil, karena ia mempunyai...